Berbicara masalah formalin berarti berbicara tentang formaldehid sebagai senyawa kimia yang paling berperan terhadap fungsi formalin sebagai bahan pengawet spesimen biota. Formaldehid terkandung dalam kisaran jumlah 30-40 persen dalam larutan formalin. Tulisan berikut akan mencoba mengulas berbagai riset tentang formaldehid yang telah dilakukan untuk mendapatkan informasi yang benar seperti apa dampak formaldehid sebenarnya jika terasup ke dalam tubuh dari berbagai informasi riset.
Apa sih formaldehid?
Formaldehid (HCHO) sebenarnya merupakan gas yang tidak berwarna yang merupakan senyawa kimia golongan aldehid yang paling sederhana.. Formaldehid dapat terbentuk secara alami setelah fase post mortem pada ikan, udang dan kerang laut dari reduksi enzimatik trimetilamin oksida menjadi formaldehid dan dimetilamin (Satelo et al., 1995). Dalam air formaldehid dihidrasi dan ditemukan dalam bentukan metilen glikol dan oligomernya. Dia sangat reaktif, mudah teroksidasi (yang berarti juga reduktor kuat) menjadi asam format dan lebih lanjut akan teroksidasi menjadi karbon dioksida dan air. Dikarenakan tingkat bahaya formaldehid, (IARC International Agency for Research on Cancer) mengklasifikasikan formaldehid sebagai senyawa dengan tingkat karsinogen tinggi (golongan 1) pada manusia.
Dari banyak riset yang telah dilaporkan, formaldehid diketahui sangat reaktif terhadap makromolekul biologis. Reaktifitas formaldehid dikarenakan formaldehid dapat berikatan silang secara intra- dan inter-molekuler dengan asam nukleus melalui absorpsi di gugus yang bersentuhan atau kontak (Swenberg et al., 1983), dia juga termetabolisme dengan cepat dengan banyak enzim-enzim sel yang didistribusikan, dan yang paling berperan dalam proses ini adalah NAD+ (tergantung formaldehid dehidrogenasenya). Metabolisme oleh formaldehid dehidrogenase juga dapat memungkinkan terbentuknya konjugat formaldehid-glutathion. Hasil metabolisme lain seperti N,N’-bis(hidroksimetil)urea dan juga N-(hidroksimetil)urea dapat ditemukan pada tikus (Mashford & Jones, 1982). Formaldehid dehidrogenase sendiri dapat ditemukan pada liver dan sel-sel darah merah manusia dan pada beberapa jaringan (seperti saluran pernafasan dan kebanyakan epitel, ginjal dan otak) pada tikus.
Informasi riset mengenai formaldehid
Banyak penelitian telah dilakukan guna melihat seberapa besar potensi bahaya pemakaian formaldehid pada bahan makanan. Penelitian dilakukan untuk melihat efek yang ditimbulkan jangka pendek, menengah atau jangka panjang dari sisi toksisitas, mutagenisitas ataupun karsiogenitas yang diakibatkan karena mengkonsumsi formaldehid. Berikut ini beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menguji pengaruh pemberian formaldehid pada beberapa hewan uji atau manusia.
Til et al. (1988) melaporkan terjadinya penurunan konsumsi makanan dan minuman dan perubahan histopatologi pada lambung (seperti focal hyperkeratosis pada forestomach, papillomatous hyperplasia sedang) pada dosis pemberian formaldehid 125 mg/kg BBPH (berat badan per hari) selama 4 minggu pada tikus Wistar. 10% hewan uji juga menunjukkan penurunan total protein dan albumin pada level konsumsi 25 mg/kg BBPH. Pada 2 tahun pengamatan Til et al. (1989) melaporkan terjadinya penurunan konsumsi makanan dan minuman, penurunan berat badan, perubahan patologi pada lambung (yang dikarakterisasi dengan terjadinya penipisan dinding mukosa), peningkatan berat ginjal relatif (pada tikus perempuan), dan juga peningkatan kasus renal papillary necrosis pada tikus Wistar untuk dosis pemberian formaldehid 109 mg/kg BBPH.
Johannsen et al. (1986) melaporkan adanya efek penurunan berat badan akibat perlakuan pemberian formaldehid pada dosis 100 mg/kg untuk anjing dan dosis 150 dan 100 mg/kg BBPH untuk tikus perempuan dan laki-laki pada hari ke 91 pengamatan.
Efek pengikisan lambung, luka lambung, hiperplasia pada sel squamous dan hiperplasia pada sel basal ditemukan pada pengamatan bulan ke-12 tikus Wistar yang diberikan konsumsi formaldehid pada dosis 300 mg/kg BBPH. Hanya satu tikus dari kelompok yang diberi perlakuan (laki-laki dan perempuan) yang menunjukan efek hiperkeratosis pada dosis 50 mg/kg BBPH (Tobe et al., 1989).
Pada penelitian karsinogenitas, Soffritti et al. (1989) melaporkan bahwa ada peningkatan tumor dari sistem haematopoietik pada tikus sprague-dawley yang diberikan air minum yang mengandung formaldehid pada konsentrasi antara 0,1,5,10,50,100,150 mg/kg berat badan per hari selama 2 tahun pengamatan. Dilaporkan bahwa dosis formaldehid yang diberikan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya kasus leukimia. Prosentase kemungkinan terjadinya leukimia pada tikus laki-laki dan perempuan (semua haemolympho-reticular neoplasias, seperti leukimia limphoblastik, dan limposarkomas, immunoblastik limposarkomas, dan leukimia lain) meningkat dari 4% dan 3% pada kontrol menjadi 22% dan 14% pada hewan yang mendapatkan air minum yang mengandung 150 mg/kg berat badan. Overman (1985) juga melaporkan adanya indikasi formaldehid menginduksi aktifitas orinithine dekarboksilase (sebagai indikasi aktifitas suporting tumor) pada tikus yang diberikan single oral formaldehid pada dosis 100 mg/kg BBPH.
Secara umum dari banyak penelitian yang telah dilakukan semua mengindikasikan bahwa formaldehid merupakan genotoksik pada sel bakteri dan mamalia in vitro (IARC, 1995). Formaldehid menginduksi mutasi pada Salmonella typhimurium dan pada Escherichia coli, dengan hasil positif ditemukan baik dengan atau tanpa keberadaan sistem aktivasi metabolik dan dia juga menunjukkan fungsi genotoksik pada Drosaphila melanogaster. Formaldehid meningkatkan frekwensi penyimpangan kromatid/kromosom, pertukaran kromatid yang serumpun, dan mutasi gen pada banyak tipe sel rodent dan manusia. Formaldehid terikat cepat dengan protein, RNA dan single stranded-DNA untuk menginduksi ikatan silang DNA-protein dan memecahnya menjadi single stranded-DNA sehingga beberapa pendapat menyimpulkan bahwa konsumsi formaldehid dapat meningkatkan kerusakan DNA (pemecahan dobel helik-nya) pada sel fibroblast manusia dan sel ephitel trachea dan meningkatkan sintesis DNA yang tidak diskedulkan pada sel nasoturbinat dan maksilloturbinat (Ma & Haris, 1988; Overman, 1985), dan meningkatkan jumlah anomali mikronukleus dan nukleus pada sel epitel tikus (Migliore et al., 1989).
Dikarenakan formaldehid akan termetabolisme dengan cepat, kebanyakan formaldehid akan tereliminasi pada udara buangan pernafasan (sebagai karbon dioksida) tidak lama setelah terpapar. Ekskresi format pada urin merupakan jalur yang paling umum eliminasi formaldehid (Johansson & Tjalve, 1978; Heck et al., 1983; Billing et al., 1984; Keefer et al., 1987; Upreti et al., 1987; Bhatt et al., 1988).
Akan tetapi efek reaktifitas formaldehid pada makromolekul yang bersentuhan pertama kali dan ditambah dengan efek toksisitas, karsinogenitas dan mutagenisitas yang dimilikinya dapat menyebabkan formaldehid dapat langsung memberikan dampak pada tataran sel yang bersentuhan dengannya. Efek ini mungkin tidak memberikan indikasi langsung dan cepat pada kondisi makro kesehatan manusia, tapi efek ini memungkinkan terjadinya dampak “akumulasi efek” bahkan dimungkinkan mutasi genetikan dapat terjadi dan terakumulasi seiring konsumsi formaldehid yang terjadi. Anomali yang terjadi mungkin tidak berefek pada manusia yang mengkonsumsinya sekarang tapi ada kemungkinan kerusakan genetika yang ditimbulkan akan berlanjut pada generasi sesudahnya dengan berbagai macam dampak yang mungkin terjadi nantinya, walaupun hal ini perlu untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk kejelasannya.
Kesimpulan.
Dari informasi seperti tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Formaldehid berbahaya jika terasup kedalam tubuh (baik terhirup atau tertelan), walaupun konsentrasi akut bahaya formaldehid hanya pada konsentrasi tinggi tapi realitas bahwa formaldehid sangat reaktif dan mempunyai banyak efek toksisitas, karsinogenitas dan mutagenisitas yang diakibatkannya tidak dapat diabaikan begitu saja,
- Formaldehid yang termetabolisme dengan cepat menjadikan formaldehid memang tidak akan terakumulasi didalam tubuh dan baru memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Akantetapi karena efek reaktifitas dan bahaya reaktif yang ditimbulkan menyebabkan mungkin timbulnya “akumulasi efek” yang membahayakan baik efek toksisitas, karsinogenitas atau mutagenisitas, mungkin efek ini tidak sontak terjadi pada masa hidup orang yang mengkonsumsinya, tapi bisa jadi efeknya akan baru tampak pada generasi sesudahnya,
- Dari penggolongan IARC yang memasukkan formaldehid pada golongan 1 karsinogen terhadap manusia dan banyak efek seperti telah dipaparkan sebelumnya maka memang sebaiknya “tidak diperbolehkan” formaldehid (formalin) dijadikan bahan aditif pada makanan.
*) Penulis (RUDI RIYANTO) adalah Peneliti Keamanan Pangan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
0 komentar:
Posting Komentar