Brand (nama produk). Para pakar periklanan pun meyakini bahwa keterkenalan seseorang bisa diracik dalam sebuah strategi komunikasi dan promosi hingga akhirnya layak "dibeli" (vote) oleh "pasar" (pencoblos). Sayangnya kita lupa bahwa tokoh politik itu TIDAK SAMA dengan barang belanjaan harian, yang ketika kita kecewa dengan produk yang sudah kita beli, kita bisa langsung stop pemakaian dan pindah ke brand lain. Tokoh politik? Salah coblos? ya pasrah aja buat menunggu lima tahun lagi. Sikap belanja yang bijak? I don't think so!
Tokoh politik - sejak itu, menjadi semacam komoditi dalam persaingan konsep promosi. Tidak heran jika akhirnya di hampir banyak kota maupun desa di Indonesia dihiasi banyak sekali baliho atau poster tokoh-tokoh yang minta dukungan kepada publik (mencari pembeli). Ketika itu pula lah akhirnya persepsi keterkenalan seorang politikus adalah dari kemampuan atau daya belanja iklannya, bukan dari pemikiran, kerja, atau karya nyatanya. Sayangnya sangat sedikit sekali para agensi politik yang menyarakan ketiga hal tadi pada kliennya. Ketiga hal tadi nampaknya cukup dilakukan secara seremonial saja, tidak intensif, yang penting bisa kirim press release ke media semoga bisa diulas. Jika ingin pasti diulas, ya kasih uang sekalian.
Bangsa kita saat ini adalah bangsa yang gemar menonton dan gemar ditonton. Media adalah sarana super penting dari kehidupan. Sampai urusan agama pun butuh konsep "tontonan" bukan "tuntunan". Menjadi seseorang dengan pamor adalah sebuah kebahagiaan tingkat dewa. Disapa dan dikenal banyak orang adalah sebuah adiksi tingkat tinggi. Resikonya? Anda tidak bisa lagi mengenakan pakaian yang sama tiap hari, atau anda akan dicemooh. Kebutuhan menjadi orang yang "terpandang" tentu tidak murah, akan ada banyak kebutuhan belanja. Baik dari belanja pakaian, makanan, atau sekedar kegiatan hore-hore. Semua ada biayanya dan semua ada harganya. Lalu apakah Jokowi juga melakukan "strategi" tersebut di atas? Ada yang tahu?
Harga Pertarungan Kursi Presiden
Jokowi kini berada dalam sebuah persimpangan yang sangat rumit dan menjebak. Kondisi ini menjadi tidak ideal karena memang tidak ada yang ideal dalam pertarungan politik. Memperebutkan kursi RI-1 itu bukan semacam arisan yang siapa pun pemenangnya kita semua bisa rela, iklas, dan sportif menerimanya.. tidak demikian. Memperebutkan kursi presiden adalah sebuah pertarungan yang mencekam, menakutkan, namun juga penuh harapan.
Indonesia kalau mau dibilang jujur, belum sepenuhnya dewasa dalam menyikapi pemilihan kursi presiden ini. Kenapa? karena tidak semua pemilih dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab memilih seorang kandidat. Beli suara, jual suara, bayar sana-sini, diakalin sana-sini, tidak sportif dan seterusnya. Masalah apa ini? menurut saya adalah masalah pendidikan politik. Politik, sejak 32 tahun ORBA akhirnya menjadi momok dan hinaan. Masyarakat sudah antipati dan tidak peduli dengan kinerja politik. Dunia politik akhirnya diisi dan dihinggapi banyak sekali kaum oportunis dan hipokrit di dalam partai-partai. Makin hancurlah dunia politik negeri ini.
Ketidak dewasaan masyarakat dalam melihat dunia politik pun menjadi acak-adul. Tidak fokus dan cenderung tidak jelas arah dan konteksnya. Kebencian dan ketidakpedulian masyarakat pada dunia politik seolah menjadi penyakit kronis lalu gelap mata, sampai masyarakat lupa bahwa dalam "penyakit" politik ada unsur penting yang tidak bisa dilupakan yaitu partai. Fungsi partai seakan-akan terlupakan oleh masyarakat. Kebobrokan sebuah partai atau anggota partai nyatanya yang dicap buruk adalah politiknya, nama partainya aman-aman saja. Apakah ini rekayasa opini yang diciptakan oleh partai-partai busuk? Saya tidak tahu..
Jokowi kini diyakini mampu menyelamatkan Indonesia dari kesemrawutan ini, benarkah? Bisa jadi iya bisa jadi tidak. Hanya saja saya mempunyai sebuah pandangan lain, bahwa Indonesia saat ini bukan sekedar butuh nahkoda perubahan, melainkan butuh motivator dan inisiator yang punya pengaruh kuat untuk mengajak pelaku-pelaku politik lain melakukan perubahan di dalam struktur pemerintahan negeri ini. Posisinya bisa di mana saja, tidak musti jadi presiden terlebih dahulu.
Kampanye dan Jualan Tokoh
Indonesia bukan butuh seorang pemimpin yang sekedar dianggap jujur, tidak korupsi, atau dekat dengan rakyat, melainkan pemimpin yang mau mendengar dan bekerja sigap demi rakyat, bukan partai! Pemimpin yang tidak ja'im atau cari aman, pemimpin yang rela berdiri dengan melepaskan semua atribut partai, suku, dan agamanya demi satu nama: Indonesia.
Bagi saya, membangun Indonesia sekarang adalah dengan cara membangun jaringan bawah yang kuat dan terpadu dari pemimpin-pemimpin daerah seluruh Indonesia. Sebuah jaringan yang menyentuh dan melibatkan langsung masyarakat seluruh Indonesia. Walikota, bupati, dan gurbernur musti sepakat dan sinkron melakukan semangat perubahan pro rakyat ini, bukan partai. Sistem itu sudah ada, lewat pilkada, kini tinggal kita sebagai masyarakat dan warga yang harus turun andil dan bersikap mendukungnya.
Saatnya semua pemimpin daerah yang canggih dan keren musti muncul, Jokowi dan Ahok sudah cukup layak dijadikan promotor perubahan ini. Bukan karena mereka berdua terkenal di media, melainkan karena mereka ada di Jakarta. Jakarta harus menjadi kota promotor perubahan ini. Sebuah lokomotif besar yang mampu menarik semua kota-kota di Indonesia untuk bergerak berubah. Kekuatan jaringan ini jelas akan mudah diikuti oleh banyak lembaga, organisasi, dan komunitas di tingkat masyarakat.
Jokowi dan Ahok terlihat sangat piawai memainkan duet-nya di Jakarta. Saya pikir itu sudah sebuah terobosan besar dalam sejarah Jakarta sejak Ali Sadikin. Kenapa musti dihentikan dengan memindahtugaskan Jokowi ke wilayah RI-1 ?
Seorang Jokowi dengan badan yang kurus, lurus, lugu, dan patuh, akan dengan mudah "digoyang" oleh lawan-lawannya yang tidak suka dengan perubahan Indonesia. Apa mau dilawan langsung? Come on.. this is politic, lupakan cara logis dan etika, mereka rela melakukan permainan-permainan kotor dan penuh biaya untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Termasuk untuk menjatuhkan Jokowi. Bagaimana? Misalnya dengan cara mengompori terus Jokowi dan PDIP agar tertarik mau masuk ke dalam "ring" pertarungan RI-1.
Kenapa jangan? Coba lihat siapa lawan-lawannya? Jangan dilihat dari elektabilitas atau kesukaan warganya, coba lihat lagi kekuatan partainya, kekuatan SDM pendukung di dalam partai, kekuatan dana, kekuatan strategi, kekuatan jaringan DPR dan pemimpin daerah, dan seterusnya. Saya sih tidak rela jika akhirnya Jokowi harus kandas dan tersungkur hanya karena jebakan Batman yang diciptakan partai-partai hipokrit tadi. Setelah itu.. apa yang bisa diharapkan dari Jokowi dan PDIP?
Jangan sampai kita terjebak dalam permainan besar ini. Permainan yang disiapkan oleh para pakar-pakar strategi politik tingkat tinggi. Saya lebih suka memilih untuk fokus membangun kota bersama Walikota, Bupati, dan Gubernur saja. Saya berharap dengan cara itu maka akan bermunculan tokoh-tokoh baru yang kokoh, kuat, dan punya pendirian atas nama bangsa. Yang siap bergandengan dan berkolaborasi membangun sebuah jaringan kuat ditingkat masyarakat untuk membangun Indonesia baru yang lebih baik. Indonesia masih butuh banyak sekali tokoh-tokoh muda perubahan, dan tokoh-tokoh tua yang terbuka pemikirannya. Memperbaiki Indonesia tidak musti menjadi presiden.. kita bisa ikut andil memperbaiki negeri ini lewat profesi dan kesibukan kita koq.. hayuk atuh! (Penulis : Motulz, sumber: kompasiana.com)